Monday, December 12, 2011

Pulau Sempu, A Heaven Behind The Island.

Panik, karena kami sama sekali tidak menduga akan tidak mendapat tiket untuk perjalanan kami menuju Surabaya atupun Malang. Kami memang sudah mencoba untuk mencari tiket kereta dan pesawat beberapa waktu sebelumnya, tapi tidak adanya jadwal yang pas waktunya dengan waktu pulang kantor saya membuat kami bingung. Hari H keberangkatan kami mencoba untuk membeli tiket kereta eksekutif, namun hasilnya nihil, semua HABIS. Ternyata, kami baru menyadari jika hari Minggu merupakan hari libur Nasional, Tahun Baru Muharam, pantas saja semua tiket habis dipesan hingga beberapa hari kedepan. Ya, saya dan Ratih akan pergi ke Malang kali ini.

Beruntung, masih ada bis tujuan Surabaya yang akan berangkat jam 7 malam. Satu masalah terpecahkan, namun masalah lainnya yaitu saya tidak bisa pulang kantor sebelum jam 7 malam. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, saya coba untuk minta izin pulang lebih dulu, namun sia-sia, bos besar tidak mengizinkan, akhirnya cara nekat saya tempuh. Kabur. Ya kabur dari kantor menjadi opsi terakhir yang bisa dilakukan.

Taksi yang kami tumpangi pun kami minta memacu kendaraannya agar jam 7 malam sudah sampai di Jalan Pemuda, Rawamangun. Jam 7 kurang akhirnya sampai di pool bis Lorena, setelah menyelesaikan biaya administrasi, kami pun menunggu bis, 1 jam berlalu bis tak kunjung datang, akhirnya 2 jam kemudian bis datang.

Tidak lama berada dalam bus, kami sudah terlelap, entah memang sudah malam atau kami letih. Jam setengah 6 pagi, kami bangun dan cukup kaget karena bis baru sampai Semarang, bagaimana mungkin bis akan sampai seperti yang dijanjikan oleh petugas reservasi Lorena sebelumnya, yaitu jam 1 siang sudah sampai Surabaya. Benar saja, bis ternyata berjalan sangat lambat dan banyak berhenti di beberapa rumah makan, setau saya bus malam cepat hanya berhenti satu kali di rumah makan. Kami berhenti di satu rumah makan yang cukup “merampok”, untuk satu botol Frestea saya harus membayar 10 ribu, Indomie goring 2 porsi seharga 20 ribu.

Jam 1 siang bis baru sampai Pati, Jawa Tengah!! Jam 7 malam bis baru memasuki Terminal Bungur Asih. Berarti total perjalanan yang kami tempuh Jakarta – Surabaya selama 22 jam. Kami langsung mencari bis dengan tujuan Malang, tidak lama menunggu bis Restu dengan tujuan Malang pun datang. Perjalanan Surabaya – Malang selama 2 jam pun ditempuh dalam lelap, ya saya tertidur lagi.

Waktu menunjukkan pukul 9 begitu kami memasuki Terminal Arjosari, Malang. Dani, seorang couchsurfer asal Malang yang akan kami tumpangi rumahnya malam itu, menginstruksikan agar kami naik angkot AMG menuju Gadang, dan akan dijemput di Gadang. Terasa seperti angkot pribadi, karena tidak ada lagi penumpang selain kami berdua. Udara Malang saat itu yang cukup dingin memaksa kami harus memakai jaket.

Malang
Baru beberapa saat tiba di Malang, tapi saya langsung jatuh hati pada kota ini, suasana yang tidak ramai, udara yang sejuk dan makanan yang murah menjadi alas an saya menyukai kota ini. Saya sempat tidak percaya saat melihat gerobak mie ayam bertuliskan harga Rp.2.500 saja, bayangkan jika di Jakarta saya harus mengeluarkan minimal Rp.8.000 untuk seporsi mie ayam.

Dani dan Martha pun datang menjemput kami. Rumah Dani terletak sedikit di luar Kota Malang, di daerah Bulu Lawang, memasuki kawasan pedesaan khas Malang, rumah ini cukup berbeda dengan beberapa rumah di kawasan tersebut, walaupun berada di daerah pedesaan, rumah ini cukup modern. Dani berkali-kali merendah jika rumahnya terletak di pedesaan atau masih sangat kampung, hal yang sama sekali bukan masalah bagi kami.
Martha, Ratih, Dhani, Saya, dan Ortu Dhani

Kami disambut oleh beberapa orang di rumah Dani, yaitu Vita, Anto, Sari, dan orangtua Dani. Sebelumnya, beberapa couchsurfer Malang mengadakan gathering kecil di rumah Dani, namun sayang karena kami terlalu malam datangnya, jadi tidak sempat bertemu mereka.

Pagi hari, saya sudah janji dengan Mas Heru, salah seorang couchsurfer dari Jombang untuk melakukan perjalanan bersama ke Pulau Sempu di Selatan Kota Malang. Mas Heru, datang bersama 3 orang temannya menggunakan mobil bak terbuka. Sudah terbayang perjalanan menuju Sendang Biru pasti akan panas terik karena menggunakan mobil bak terbuka, tapi saya menikmati perjalanan tersebut.
Menumpang mobil bak terbuka

Sempu, sebuah pulau dengan luas 877 hektar, terletak sekitar 90 km sebelah Selatan Kota Malang, merupakan pulau yang diperuntukkan sebagai tempat konservasi, sebenarnya untuk mengunjungji pulau ini, apalagi menginap, dibutuhkan Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang bisa diurus di Kantor Dinas Kehutanan di Surabaya.
Menyebrang ke Pulau Sempu


Perahu penyebrangan ke Pulau Sempu
Menuju Pulau Sempu dari Pantai Sendang Biru hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit menggunakan perahu yang banyak tersedia di Pantai Sendang Biru. Saat itu hari Minggu, Pantai Sendang Biru penuh dengan pengunjung yang bermain di sekitar pantai ataupun menuju ke Pulau Sempu. Tujuan utama mengunjungi Pulau Sempu tentu saja untuk melihat Segara Anakan, sebuah laguna yang terletak di bagian belakang pulau. Laguna ini sangat mirip dengan laguna di film The Beach. Mencapai Segara Anakan dari Semut membutuhkan trekking selama kurang lebih satu jam jika tidak ada hujan turun di Pulau Sempu. Namun, jika hujan turun di Pulau Sempu sehari sebelumnya, maka waktu tempuh menjadi 4 – 5 jam untuk sampai di Segara Anakan. Jalan yang licin dan penuh lumpur menjadikan trekking di Pulau Sempu menjadi sulit.
Jalur rrekking menuju Pulau Sempu

Beruntung saat itu hujan sudah tidak turun di Malang dan Pulau Sempu selama 3 hari, jadi trekking menuju Segara Anakan hanya memakan waktu 1 jam 15 menit, itu pun disertai dengan istirahat beberapa kali, karena Mas Heru dan temannya lelah. Sekelebat dari rimbunnya dedaunan, hijaunya laguna Pulau Sempu sudah terlihat. Memang sungguh indah sekali warnanya, seperti tempat yang benar-benar diperuntukan bagi mereka yang membutuhkan privasi tersendiri.
Lagoon di Pulau Sempu

Senja di Pulau Sempu

Sudah ada beberapa tenda yang berdiri di Segara Anakan, kami bukan orang pertama yang pertama sampai disana pada hari itu. Sepertinya, salah satu rombongan sudah ada yang menginap disini sejak kemarin. Tidak lama menikmati keindahannya, kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda, posisi yang mendekati bibir air yang kami pilih, yang ternyata kemudian kami ketahui sebagai pilihan yang salah. Setelah tenda berdiri tegak, kami berjalan ke atas bukit di belakang Sempu, pemandangan yang saya lihat dari posisi ini benar-benar menggetarkan hati, saya berdiri tepat di pinggir tebing karang dengan tinggi kurang lebih 30 meter dan tepat di bawah saya adalah lautan luas. Kerasnya deburan ombak yang menghantam sisi tebing menghasilkan suara gemuruh yang keras. Dari posisi ini, sangat bagus untuk mengambil letak Segara Anakan secara keseluruhan, dan juga mengambil foto tebing karang yang tinggi.
Laguna Pulau Sempu
Tebing Karang di Pulau Sempu

Tebing karang yang berbatasan dengan Samudra Hindia

Hari menjelang sore, sebagian dari kami segera mencari ranting kayu untuk membuat ikan bakar nanti malam, sedangkan saya membersihkan ikan yang kami beli sebelumnya di pasar ikan Sendang Biru. Dua kilogram ikan salem dan dua kilogram ikan tongkol sudah saya bersihkan dan siap dibakar. Membayangkan memakan ikan bakar di pinggir laguna sudah ada di angan-angan saya sebelumnya. Nyatanya kami tidak ada persiapan matang untuk membakar ikan, kayu yang kami temukan tidak banyak, sehingga setelah ikan setengah matang, kami menggunakan kompor gas selanjutnya.

Menjelang malam, ternyata debit air mulai naik, tenda kami yang berada sangat dekat dengan bibir air sebelumnya perlahan kami pindahkan, tidak jauh dari posisi semula, nyatanya debit air terus naik, akhirnya kami pindahkan tenda ke lokasi yang benar-benar aman.

Perkiraan kami cuaca yang akan cerah hingga esok kami pulang ternyata salah, jam 9 malam, kilat mulai menunjukkan wujudnya, bersambut-sambutan dengan suara yang memekakkan telinga. Benar saja, tak lama hujan turun sangat deras, kami berhamburan ke tenda masing-masing. Tenda saya yang sudah cukup lama ternyata bocor, air mulai masuk dari bagian bawah terpal tenda, kami langsung mengamakan barang bawaan kami ke dalam dry bag saya. Tak lama hujan berhenti, lalu hujan turun kembali, terus seperti itu sampai akhirnya saya lelah untuk mengeringkan tenda, akhirnya kami tidur dengan baju dan celana basah.

Pagi hari, hujan sudah reda, namun pemandangan di depan tenda kami sungguh berbeda dengan yang kami lihat sebelumnya. Segara Anakan yang sangat indah kemarin, ternyata airnya surut hingga dangkal, sehingga terlihat sangat kotor dan tidak lagi berwarna kehijauan indah. Namun, menjelang siang, perlahan air mulai mengisi laguna melalui celah yang ada di sebelah kiri laguna, tak lama laguna ini kembali terlihat cukup indah.
Laguna yang surut

Kami terpaksa harus memajukan jadwal pulang kami, karena semalam hujan sangat deras, yang pasti mengakibatkan jalur trekking menjadi berlumpur, sehingga pasti waktu tempuh lebih lama dari biasanya. Perlahan kami mulai berjalan melalui jalur yang kami lewati kemarin, benar saja jalan sudah penuh dengan rumpur, sehingga sangat licin dan berhati-hati agar tidak masuk kubangan lumpur. Kurang lebih 1 jam 45 menit saya dan Ratih sampai lebih dulu di Semut, sepatu dan celana kami sangat kotor karena beberapa kali harus jatuh. Perahu yang sedianya menjemput kami untuk kembali ke Sendang Biru tidak bisa ditelepon, untungnya ada rombongan lain yang berbaik hati membolehkan kami menumpang perahunya hingga di Sendang Biru.

Pulau Sempu memang pulau yang sangat indah dan tidak heran dijadikan sebagai kawasan konservasi, namun keindahan pulau ini terkadang menjadi boomerang bagi Pulau Sempu, karena para pengunjung yang rata-rata mengaku sebagai pecinta alam, nyatanya cenderung melakukan tindakan yang berpotensi merusak ekosistem Pulau Sempu. Di sepanjang jalur trekking banyak botol bekas air mineral yang dibuang begitu saja, begitu juga di pinggir laguna, banyak sekali sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung, terutama yang kemping. Kami cukup sadar dengan kepedulian lingkungan dengan membawa seluruh sampah yang kami buat untuk dibuang di Sendang Biru.
It's so dirty..!!

Perjalanan pulang kami terasa cukup melelahkan, saya pun tertidur di bak mobil, tidak sadar akan cahaya panas matahari yang mulai membakar kulit saya. Tujuan kami adalah menuju stasiun kota tua Malang, saya dan Ratih akan pulang ke Jakarta menggunakan kereta. Ternyata tiket kereta ekonomi sudah penuh, untuk naik kereta ke Surabaya tidak memungkinkan waktunya, kami lalu coba ke stasiun utama Malang, ternyata tiket kereta ekonomi masih ada. Sambil menunggu jam keberangkatan kereta Matarmaja, kami mampir di Bakso Cak Man, yang ternyata harganya jauh lebih murah dari Bakso Cak Man di Jakarta.

Delapan belas jam lebih perjalanan yang harus kami tempuh dengan kereta Matarmaja, sebelum akhirnya kembali ke pangkuan ibukota. Keramaian calo di Pasar Senen menyambut kedatangan kami pagi itu. Ahh Jakarta..kau tidak pernah berubah.


Fact Behind Story :

Bus Lorena Jakarta – Surabaya : Rp.250.000
Bus Restu Surabaya – Malang : Rp. 15.000
Angkot Arjosari – Gadang : Rp.3.000
Sharing Bensin, Makanan, Perahu, dll : Rp.44.000
Tiket kereta Matarmaja Malang – Jakarta : Rp.51.000

No comments:

Post a Comment

My TripAdvisor