Berat rasanya harus bangun jam 3
pagi dan bergegas ke airport untuk penerbangan pagi. Pesawat Citilink yang saya dan Ratih tumpangi akan berangkat pukul 5.55 pagi, jadi jam 4.55 kami sudah harus sampai
di airport untuk check in. Nyatanya pesawat mengalami keterlambatan
keberangkatan sekitar 30 menit. Perjalanan 2 jam di udara saya habiskan untuk
meneruskan tidur yang terpotong sebelumnya.
Jam 8.30 kami sampai di Bandar
Udara Polonia, ini kali pertama saya mengunjungi Medan. Bandara ini seperti bandara di Ho Chi Minh, terletak di tengah kota, dengan run-way yang tidak terlalu
panjang. Kondisi ini menyulitkan bagi beberapa pesawat untuk mendarat, untuk
melakukan perluasan bandara hampir tidak mungkin, karena dibatasi oleh
perumahan di luar bandara. Saat ini sedang dibangun bandara baru untuk menggantikan bandara
Polonia di Kualanamu, 3 jam perjalanan dari Kota Medan. Cukup jauh memang.
Menunggu angkutan umum cukup
mudah di bandara ini, hanya perlu berjalan keluar pintu gerbang bandara, sudah
banyak kendaraan umun ataupun bentor (becak motor) yang melewati lokasi
tersebut. Saya memilih bentor untuk mencapai Terminal Pinang Baris, dengan
menawar harganya dari Rp.40.000 menjadi Rp.25.000, awalnya saya pikir jaraknya
dekat, nyatanya cukup jauh, hampir 40 menit perjalanan dengan bentor.
Lalu lintas di Medan tak ubahnya
seperti Jakarta, menerobos lampu lalu lintas dan lawan arus merupakan hal yang
biasa disini. Seringkali pengemudi bentor kami pun melakukan hal tersebut.
Namun kondisi Kota Medan menurut pandangan saya jauh lebih bersih dari Jakarta,
tidak banyak sampah di jalan.
Terminal Pinang Baris tidak
terlalu ramai, supir bentor menyarankan kami untuk menunggu Elf di luar
terminal saja, daripada menunggu di dalam terminal. Tak lama menunggu, Elf
Pemb. Semesta dengan tujuan Bukit Lawang pun tiba, awal perjalanan saya
tertidur di Elf, sekitar 1 jam tertidur, Elf masih di Jalan Jamin Ginting, yang
berarti belum jauh dari Terminal Pinang Baris. Dan benar saja ternyata Elf ini
jalannya lama sekali, ngetem dan menunggu penumpang. Dua jam kemudian, Elf
sudah memasuki kawasan perkebunan kelapa sawit milik London Sumatera dan PTPN,
jalanan dalam kondisi cukup bagus.
Terminal Bukit Lawang menyatu
dengan pasarnya, ada bau menyengat yang langsung tercium saat sampai, yang
ternyata adalah bau getah karet yang diperjualkan di pasar. Penginapan di Bukit
Lawang sekitar 500m dari terminal, bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik
bentor seharga Rp.5.000.
Terminal Bukit Lawang |
Kami mencari hostel untuk
menginap, beberapa referensi hostel yang saya lihat di internet ternyata penuh
saat itu. Sayup-sayup terdengar suara air dari Sungai Bohorok yang mengalir
tepat di sepanjang Bukit Lawang. Memasuki kawasan penginapan, banyak terdapat
toko penjual makanan dan cenderamata khas Bukit Lawang, tentunya lebih banyak
dengan tema orang utan. Pilihan kami adalah hostel Indra Valley, hostel kecil yang dikelola secara turun temurun dan terletak persis di tepian Sungai Bohorok.
Hostel Indra Valley |
Mungkin karena saat itu bulan
puasa, Bukit Lawang tidak terlalu ramai oleh wisatawan lokal, wisatawan asing
cukup ramai.
Harga penginapan cukup
bervariatif, mulai dari Rp.100.000/malam, dengan fasilitas seadanya. Kami
bertemu dengan sesorang yang menawarkan untuk menjadi guide trekking di Bukit
Lawang untuk melihat orang utan. Sebagai informasi, tidak diizinkan untuk
trekking tanpa didampingi oleh guide disini. Selain berbahaya, karena orang utan (Pongo Abelli) bisa saja menyerang manusia, mereka juga sudah paham lokasi dimana bisa melihat orang utan.
Harga awal yang ditawarkan adalah
sebesar Rp.400.000/orang, sudah termasuk guide, biaya masuk Taman Nasional
Gunung Leuser dan juga river tubing di Sungai Bohorok. Setelah menawar,
disepakati harga menjadi Rp.175.000/orang, termasuk river tubing. Entah karena
kami lokal atau memang sedang sepi ia menyetujuinya. Akim, guide kami yang berperawakan kurus mulai memandu jalan kami menyusuri hutan.
Perahu menuju pintu Taman Nasional |
Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser |
Ia banyak bercerita mengenai
Bukit Lawang, juga musibah air bah yang pernah menimpa Bukit Lawang pada tahun
2003 sehingga menewaskan kurang lebih 200 orang. Tiba-tiba ia berhenti dan menuntuk ke atas,
terlihat sesosok makhluk yang cukup senang dandan, dengan rambut ala spike-nya,
namanya Thomas Leaf Monkey, ada lebih dari 10 ekor Thomas Leaf Monkey termasuk
anaknya yang masih kecil yang lekat menempel pada ibunya.
Data mengenai orang utan |
Pohon besar di hutan TN Gunung Leuser |
Berjalan kembali menyusuri
rimbunnya pepohonan di Taman Nasional, kami kembali menjumpai beberapa ekor
orang utan, ingin rasanya memeluk mereka, mukanya sungguh lucu. Teringat pesan
dari Akim, saya mengurungkan keinginan tersebut, jarak aman manusia dengan
orang utan adalah 7 meter. Walaupun terlihat jinak, seperti yang di Taman
Safari, namun mereka tetaplah makhluk liar, orang utan dapat dengan mudah
mematahkan ranting kayu sebesar lengan orang dewasa.
Rombongan lain memberi pisang
kepada orang utan, sebenarnya hal ini dilarang, jika ranger melihat pasti sudah
ditegur. Jam 3 sore kami tiba di feeding camp, sudah ada beberapa orang utan
yang menunggu, salah satunya adalah Ucok, termasuk orang utan yang cukup besar
di Taman Nasional tersebut. Ia dengan sigap berpindah dari pohon ke panggung
tempat memberi makan, ranger membawakan beberapa sisir pisang dan dengan cepat
ia habiskan.
Kami lalu melanjutkan trekking menuju sungai untuk pulang dengan cara river tubing, Sungai Bohorok sangat jernih dan airnya segar sekali. Kami menemui petugas river tubing yang telah membawa ban dari tempat mula kami trekking. Total ada tiga buah ban dalam besar yang ia bawa, ia merangkai ketiga ban dalam tersebut menjadi satu dengan tali, tali tersebut menjadi tumpuan duduk kami. Barang-barang kami dimasukkan dalam satu plastik besar yang telah dipersiapkan oleh petugas tersebut. Akim dan petugas tersebut masing-masing memegang satu buah kayu panjang untuk tangkai kemudi.
River tubbing |
Suasana Bukit Lawang |
Pagi hari kami bangun awal, untuk
menikmati udara pagi sekitar penginapan, saya berjalan menyusuri sungai dan
melihat beberapa penginapan lain yang terletak lebih jauh ke dalam. Jam 8 pagi
kami bergegas kembali ke terminal Bukit Lawang untuk kembali ke Medan. Angkutan
yang kami tumpangi bukan Pembangunan Semesta, sepertinya angkutan ini tidak
mempunyai STNK, karena saat melihat ada razia gabungan dari Dinas Perhubungan dan
Polisi, supirnya mengarahkan mobil masuk ke perkebunan kelapa sawit. Cukup lama
menyusuri perkebunan kelapa sawit, kami pikir ia tahu jalan, ternyata tidak!
Jadi kami memutuskan untuk turun di jalan raya dan berganti dengan angkutan
lain hingga Medan.
No comments:
Post a Comment