Sunday, January 13, 2013

Berpetualang di Rimba Bukit Lawang

Berat rasanya harus bangun jam 3 pagi dan bergegas ke airport untuk penerbangan pagi. Pesawat Citilink yang saya dan Ratih tumpangi akan berangkat pukul 5.55 pagi, jadi jam 4.55 kami sudah harus sampai di airport untuk check in. Nyatanya pesawat mengalami keterlambatan keberangkatan sekitar 30 menit. Perjalanan 2 jam di udara saya habiskan untuk meneruskan tidur yang terpotong sebelumnya.


Jam 8.30 kami sampai di Bandar Udara Polonia, ini kali pertama saya mengunjungi Medan. Bandara ini seperti bandara di Ho Chi Minh, terletak di tengah kota, dengan run-way yang tidak terlalu panjang. Kondisi ini menyulitkan bagi beberapa pesawat untuk mendarat, untuk melakukan perluasan bandara hampir tidak mungkin, karena dibatasi oleh perumahan di luar bandara. Saat ini sedang dibangun bandara baru untuk menggantikan bandara Polonia di Kualanamu, 3 jam perjalanan dari Kota Medan. Cukup jauh memang.

Menunggu angkutan umum cukup mudah di bandara ini, hanya perlu berjalan keluar pintu gerbang bandara, sudah banyak kendaraan umun ataupun bentor (becak motor) yang melewati lokasi tersebut. Saya memilih bentor untuk mencapai Terminal Pinang Baris, dengan menawar harganya dari Rp.40.000 menjadi Rp.25.000, awalnya saya pikir jaraknya dekat, nyatanya cukup jauh, hampir 40 menit perjalanan dengan bentor.

Lalu lintas di Medan tak ubahnya seperti Jakarta, menerobos lampu lalu lintas dan lawan arus merupakan hal yang biasa disini. Seringkali pengemudi bentor kami pun melakukan hal tersebut. Namun kondisi Kota Medan menurut pandangan saya jauh lebih bersih dari Jakarta, tidak banyak sampah di jalan.

Terminal Pinang Baris tidak terlalu ramai, supir bentor menyarankan kami untuk menunggu Elf di luar terminal saja, daripada menunggu di dalam terminal. Tak lama menunggu, Elf Pemb. Semesta dengan tujuan Bukit Lawang pun tiba, awal perjalanan saya tertidur di Elf, sekitar 1 jam tertidur, Elf masih di Jalan Jamin Ginting, yang berarti belum jauh dari Terminal Pinang Baris. Dan benar saja ternyata Elf ini jalannya lama sekali, ngetem dan menunggu penumpang. Dua jam kemudian, Elf sudah memasuki kawasan perkebunan kelapa sawit milik London Sumatera dan PTPN, jalanan dalam kondisi cukup bagus.

Terminal Bukit Lawang menyatu dengan pasarnya, ada bau menyengat yang langsung tercium saat sampai, yang ternyata adalah bau getah karet yang diperjualkan di pasar. Penginapan di Bukit Lawang sekitar 500m dari terminal, bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik bentor seharga Rp.5.000.

All images are copyright of Fiqy, copying or using is not allowed without permission.
Terminal Bukit Lawang
Kami mencari hostel untuk menginap, beberapa referensi hostel yang saya lihat di internet ternyata penuh saat itu. Sayup-sayup terdengar suara air dari Sungai Bohorok yang mengalir tepat di sepanjang Bukit Lawang. Memasuki kawasan penginapan, banyak terdapat toko penjual makanan dan cenderamata khas Bukit Lawang, tentunya lebih banyak dengan tema orang utan. Pilihan kami adalah hostel Indra Valley, hostel kecil yang dikelola secara turun temurun dan terletak persis di tepian Sungai Bohorok.

All images are copyright of Fiqy, copying or using is not allowed without permission.
Hostel Indra Valley

All images are copyright of Fiqy, copying or using is not allowed without permission.

Suasana Bukit Lawang

Mungkin karena saat itu bulan puasa, Bukit Lawang tidak terlalu ramai oleh wisatawan lokal, wisatawan asing cukup ramai. 

Harga penginapan cukup bervariatif, mulai dari Rp.100.000/malam, dengan fasilitas seadanya. Kami bertemu dengan sesorang yang menawarkan untuk menjadi guide trekking di Bukit Lawang untuk melihat orang utan. Sebagai informasi, tidak diizinkan untuk trekking tanpa didampingi oleh guide disini. Selain berbahaya, karena orang utan (Pongo Abelli) bisa saja menyerang manusia, mereka juga sudah paham lokasi dimana bisa melihat orang utan.
Jembatan melintasi Sungai Bohorok

Harga awal yang ditawarkan adalah sebesar Rp.400.000/orang, sudah termasuk guide, biaya masuk Taman Nasional Gunung Leuser dan juga river tubing di Sungai Bohorok. Setelah menawar, disepakati harga menjadi Rp.175.000/orang, termasuk river tubing. Entah karena kami lokal atau memang sedang sepi ia menyetujuinya. Akim, guide kami yang berperawakan kurus mulai memandu jalan kami menyusuri hutan.

Perahu menuju pintu Taman Nasional

Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser
Ia banyak bercerita mengenai Bukit Lawang, juga musibah air bah yang pernah menimpa Bukit Lawang pada tahun 2003 sehingga menewaskan kurang lebih 200 orang. Tiba-tiba ia berhenti dan menuntuk ke atas, terlihat sesosok makhluk yang cukup senang dandan, dengan rambut ala spike-nya, namanya Thomas Leaf Monkey, ada lebih dari 10 ekor Thomas Leaf Monkey termasuk anaknya yang masih kecil yang lekat menempel pada ibunya.

Data mengenai orang utan
Pohon besar di hutan TN Gunung Leuser
Trekking kami lanjutkan dengan turun naik bukit, medannya tidak terlalu berat, namun saya trekking dalam kondisi berpuasa, tapi itulah tantangannya. Sudah lebih dari 2 jam kami berjalan, tapi belum juga menemukan satu sosok orang utan, tak lama beberapa rombongan lain sudah ada yang berkumpul di dekat pohon dan melihat ke atas, rupanya disana ada 2 buah orang utan, ibu dan anaknya. Benar-benar tak bisa diungkapkan senangnya saya dapat melihat sosok orang utan di habitat aslinya.

All images are copyright of Fiqy, copying or using is not allowed without permission.
Orang utan muda

Berjalan kembali menyusuri rimbunnya pepohonan di Taman Nasional, kami kembali menjumpai beberapa ekor orang utan, ingin rasanya memeluk mereka, mukanya sungguh lucu. Teringat pesan dari Akim, saya mengurungkan keinginan tersebut, jarak aman manusia dengan orang utan adalah 7 meter. Walaupun terlihat jinak, seperti yang di Taman Safari, namun mereka tetaplah makhluk liar, orang utan dapat dengan mudah mematahkan ranting kayu sebesar lengan orang dewasa.

Rombongan lain memberi pisang kepada orang utan, sebenarnya hal ini dilarang, jika ranger melihat pasti sudah ditegur. Jam 3 sore kami tiba di feeding camp, sudah ada beberapa orang utan yang menunggu, salah satunya adalah Ucok, termasuk orang utan yang cukup besar di Taman Nasional tersebut. Ia dengan sigap berpindah dari pohon ke panggung tempat memberi makan, ranger membawakan beberapa sisir pisang dan dengan cepat ia habiskan.
Ucok di Feeding Camp


Kami lalu melanjutkan trekking menuju sungai untuk pulang dengan cara river tubing, Sungai Bohorok sangat jernih dan airnya segar sekali. Kami menemui petugas river tubing yang telah membawa ban dari tempat mula kami trekking. Total ada tiga buah ban dalam besar yang ia bawa, ia merangkai ketiga ban dalam tersebut menjadi satu dengan tali, tali tersebut menjadi tumpuan duduk kami. Barang-barang kami dimasukkan dalam satu plastik besar yang telah dipersiapkan oleh petugas tersebut. Akim dan petugas tersebut masing-masing memegang satu buah kayu panjang untuk tangkai kemudi.

River tubbing
Jam 6 sore kami sampai di penginapan, bersiap untuk berbuka puasa, tenggorokan kami sudah sangat tercekat karena trekking tadi. Ditunggu-tunggu ternyata waktu Magrib disini adalah pukul 7 malam, berarti kami harus menunggu 1 jam lagi..tidaaakk! Saat azan Magrib berkumandang, sudah bisa ditebak apa yang pertama kami lakukan, memesan minuman super dingin. Nikmatnya.

Suasana Bukit Lawang
Malam di Bukit Lawang tidak terlalu ramai, di bawah penginapan kami ada restaurant yang dimiliki pleh penginapan, sesekali ada live band disini, namun malam itu tidak ada. Di depan penginapan kami, ada sebuah restaurant yang cukup ramai, tempatnya cozy. Kami menghabiskan malam dengan bersantai di restoran penginapan kami dan menutup malam dengan tidur lebih cepat. Sempat khawatir juga karena sebelumnya kami diceritakan mengenai bencana air bah yang menimpa kawasan ini pada tahun 2003 lalu, ditambah waktunya juga saat bulan Ramadhan. Debit air di Sungai Bohorok ini semakin malam terdengar semakin deras, kami tidak mau berpikir yang aneh-aneh, lebih baik kami melanjutkan tidur.
Sungai Bohorok


Pagi hari kami bangun awal, untuk menikmati udara pagi sekitar penginapan, saya berjalan menyusuri sungai dan melihat beberapa penginapan lain yang terletak lebih jauh ke dalam. Jam 8 pagi kami bergegas kembali ke terminal Bukit Lawang untuk kembali ke Medan. Angkutan yang kami tumpangi bukan Pembangunan Semesta, sepertinya angkutan ini tidak mempunyai STNK, karena saat melihat ada razia gabungan dari Dinas Perhubungan dan Polisi, supirnya mengarahkan mobil masuk ke perkebunan kelapa sawit. Cukup lama menyusuri perkebunan kelapa sawit, kami pikir ia tahu jalan, ternyata tidak! Jadi kami memutuskan untuk turun di jalan raya dan berganti dengan angkutan lain hingga Medan.
















No comments:

Post a Comment

My TripAdvisor