Garut, sebuah kabupaten di sebelah Selatan Kota Bandung, jaraknya
relatif tidak terlalu jauh, dengan perjalanan 1,5 – 2 jam saja sudah sampai di
Garut. Dengan catatan tidak ada kemacetan di Nagreg ya.
Sebelum memasuki Garut, dari kejauhan terlihat Garut yang dikelilingi oleh rantai gunung. Ya memang, Garut terletak di kaki gunung, tercatat ada Gunung
Papandayan, Gunung Cikuray menjulang tinggi menutupi Garut.
Sebelum memasuki Garut, mengunjungi Situ dan Candi
Cangkuang menjadi pilihan yang tepat, jika naik bis bilang saja mau turun di Simpang Leles. Saat turun,
nanti ada dua pilihan untuk menuju Situ Cangkuang yang berjarak 3km dari jalan raya, jika naik
delman bayar Rp.10.000/orang hingga Situ Cangkuang. Kami memilih untuk menaiki
delman saat itu.
Situ Cangkuang berlatar Gunung Papandayan |
Pelataran parkir Situ Cangkuang tidak terlalu luas, di musim
liburan, Situ Cangkuang sering menimbulkan macet dari pengunjungnya. Petugas
loket menyapa kami ramah saat memasuki pelataran situ,
“ Sabaraha jalmi, kang?” sapanya dalam bahasa Sunda. Ia
mengenakan seragam safari biru tua dan tersenyum ramah.
“Tilu”, jawab saya dalam bahasa Sunda seadanya. Setelah
menyerahkan uang sebesar Rp.9.000 untuk 3 orang, kami pun memasukin pelataran
situ. Situ Cangkuang tidaklah luas, sesuai namanya, situ yang berarti danau
kecil. Jejeran rakit yang terpakir di tepian situ siap membawa kami menyebrangi
situ, menuju sebuah dataran kecil di tengah situ. Disanalah letak Candi
Cangkuang dan Kampung Adat Pulo yang terkenal itu.
Deretan rakit di Situ Cangkuang |
Sigap kami melompat ke atas rakit dengan panjang sekitar 20
meter tersebut, sambil menunggu penumpang lainnya naik ke atas rakit. Jika ingin menyewa rakit
untuk satu rombongan saja, tinggal siapkan uang sebesar Rp.80.000 pulang pergi,
namun jika perorangan hanya membayar Rp.4.000 saja untuk pulang pergi.
Penumpang sudah penuh, lalu pemilik rakit mendorong rakitnya menjauhi
dermaga dengan bambu panjang, perlahan rakit maju dan berputar menuju dataran
di tengah Situ Cangkuang. Pemilik rakit memberitahukan nomor rakitnya, yaitu nomor 14
agar kami tidak salah naik rakit saat kembali.
Candi Cangkuang |
Candi Cangkuang sudah dapat terlihat dari pinggir dermaga,
bentuknya tidaklah besar, hanya ada 1 bangunan stupa. Candi Cangkuang adalah
candi Hindu satu-satunya yang terletak di Tatar Sunda. Untuk menuju ke Candi, kami diharuskan berjalan memutar melewati
toko souvenir yang berdiri di sisi kanan candi. Untungnya para penjual souvenir
ini tidak memaksa seperti yang ada di Candi Borobudur.
Rumah Kampung Adat Pulo |
Kami melewati Kampung Adat Pulo, hanya ada 6 rumah disini,
tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Rumahnya bergaya tradisional yang
didominasi bahan kayu dan anyaman, seorang nenek yang duduk di depan rumah
menarik perhatian saya. Ia tampak asik mengunyah sirih di mulutnya, usianya
saya tebak lebih dari 80 tahun. Saya minta izin untuk foto beliau, tidak
menolak namun ia berkata,
Penduduk Kampung Adat Pulo |
Add caption |
“Sok aja lamun bade foto mah, masihan ka nini tapi”
yang artinya ia meminta uang untuk di foto. Mengiyakan, lalu saya asik
mengambil foto dia, ia pun Nampak tidak sungkan difoto, malah bisa berekspresi.
Setelah selesai, saya menyerahkan selembar uang Rp.5.000 kepada beliau yang lantas ia lihat-lihat uangnya.
“Teu mahi atuh sakieu
mah”, jawabnya.
“Sabaraha atuh, Bu?” Tanya saya dalam bahasa Sunda
belepotan.
“Yah sakirangna Rp.10.000 kitu”, duh ternyata ia sudah bisa
menetapkan tarif untuk foto.
Melewati rumah adat di Kampung Pulo, di sebelah kanan Candi
Cangkuang ada sebuah rumah yang menjadi museum peninggalan barang di Cangkuang.
Cangkuang itu ternyata adalah sebuah pohon seperti pandan yang banyak terdapat
disana. Banyak benda menarik di museum ini, ada Al-Quran yang ditulis pada
lembaran kulit pohon Sae. Masuk museum ini gratis, petugas dengan senang hati
melayani pertanyaan dari para pengunjung.
Saya acungi jempol untuk pengelolaan kawasan Candi
Cangkuang, tempat sampah banyak, dan juga kebersihan terjaga.
No comments:
Post a Comment