Tuesday, December 20, 2011

Africa Van Java di Baluran

Secara geografis terletak di wilayah Kabupaten Situbondo, sekitar 40 menit perjalanan dari Banyuwangi menggunakan bis. Taman Nasional Baluran juga sering disebut sebagai Africa Van Java, julukan ini tidaklah berlebihan, karena memang tempat ini mirip seperti Afrika, padang savanna nan luas terhampar sejauh pandangan mata. Dikejauhan nampak Gunung Baluran kokoh berdiri, seolah menunjukkan keadaan sesungguhnya bumi Afrika.


Hari sudah cukup sore ketika saya memutuskan untuk pergi ke Taman Nasional Baluran, dengan menaiki bus jurusan Surabaya dari terminal Tanjung Wangi di Ketapang pun saya memantapkan langkah untuk ke Taman Nasional Baluran. Bukan karena perjalanan ini saya lakukan sendirian lantas saya menjadi ragu, namun waktu libur saya yang semakin sempit menjadi alasan utama saya mengunjungi tempat ini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa ke Taman Nasional Baluran, pikir saya saat itu.

Pintu Gerbang Masuk Kawasan TN Baluran

Tiba di pintu gerbang Taman Nasional Baluran jam 4.30 sore, nampak seorang petugas sedang menyiram tanaman di sekitar pos masuk. Dengan ramah dia menyambut kedatangan saya, setelah mengutarakan keinginan untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran dan bermaksud menginap disana, saya kemudian membayar biaya masuk Taman Nasional yang cukup murah.

“Sebentar ya Mas, saya kontak dulu petugas yang ada di dalam untuk mengecek ketersediaan kamar”, sambungnya sambil mengambil walky talkie dan berbicara pada rekannya.

Setelah diyakinkan ada kamar yang kosong, kemudian dengan menumpang ojek saya menuju Bekool, tempat dimana penginapan berada.

Jalan akses menuju Bekool tidak bisa dibilang mulus, tapi tidak juga dibilang jelek, jalannya cukup lebar dan berkontur aspal yang sudah agak hancur, sehingga banyak bebatuan kecil. Perlahan abang ojek memacu kendaraannya sambil bercerita mengenai kondisi Taman Nasional Baluran saat ini. Saya yang sudah terlanjur kagum dengan suasana Taman Nasional Baluran di kala sore itu tidak terlalu memperhatikan omongannya, karena sibuk melihat kesana kemari dan mengambil foto.

Jalan Menuju Bekool

Kresekkk…krsekkk…tiba-tiba dari balik semak muncul 2 ekor burung merak yang berlari melintasi jalan yang kami lewati. Tidak ingin kehilangan momen tersebut, motor saya beri aba-aba untuk berhenti sejenak, saya akan mengambil foto dari dua ekor burung merak yang sedang asik bercengkrama tersebut. Namun, usaha saya sia-sia, burung merak tersebut terlanjut menyadari keberadaan kami, kemudian mereka hilang di balik semak.

“Disana ada sumur tua Mas, apa kita mau berhenti dulu?” Tanya abang ojek seraya menunjuk pada satu arah.

“Hmmm..tidak usah, Pak. Nanti kita terlalu sore sampai di penginapan” tolak saya halus. Sebenarnya agak takut juga ke tempat itu, takut angker.

Senja di TN Baluran

Seraya menyerahkan selembar pecahan duapuluhribuan kepada abang ojek dan berterimakasih, saya bertemu dengan dua orang penjaga pos Bekool dimana penginapan dan kantor pengawas berada. Tempat ini sangat tertata rapi, tidak kotor maupun rusak seperti kondisi beberapa tempat wisata lainnya yang pernah saya kunjungi.
Wisma Rusa..Hanya Rp.35.000/orang

Menara pengawas setinggi kurang lebih 15 meter berdiri tegak pada sebuah bukit kecil di belakang penginapan, tidak lain itu adalah menara sebagai tempat pengamatan satwa. Selangkah demi selangkah derap sepatu saya menaiki anak tangga menara yang terbuat dari kayu, sudah ada satu rombongan keluarga yang nampak akan menyudahi pengamatannya dari menara tersebut.

Wushhhhhh…angin yang cukup kencang bertiup ke arah menara, menggoyahkan sedikit tapak saya pada puncak menara pengamatan, dengan sedikit membungkuk guna menghindari terpaan angin lebih kencang saya berpindah posisi ke ujung menara. Saat dirasa angin tidak lagi kencang bertiup, saya memunculkan kepala saya untuk memandang ke sekitar menara.

Wah pemandangan benar-benar membawa diri saya seperti berada di Afrika, savanna nan luas terhampar hanya terbelah oleh jalan akses munuju pos penjagaan. Sore hari ini banyak satwa yang sudah mulai keluar dari persembunyiannya, memang menurut penuturan penjaga Taman Nasional Baluran, satwa akan keluar dari persembunyiannya mulai sore hingga malam hari, pada siang hari mereka lebih suka berteduh menghindari sinar matahari yang terik.

Sore itu ditutup dengan sinar mentari yang mulai tenggelam di kejauhan, terang berganti gelap di Bekool, tidak lama suara mesin genset berderu, lalu lampu serempak menyala. Genset masih menjadi pilihan utama untuk menghadirkan listrik di kawasan ini, saya tidak yakin apakan aliran listrik dari PLN sudah masuk wilayah ini.

Roti menjadi pilihan makan malam saya kala itu, di Bekool memang tidak ada warung makan, jadi harus membawa makanan sendiri, jika mau memasak mie, bisa menumpang di dapur penjaga taman nasional. Bangunan penginapan yang mulai cukup berumur ini hanya ditempati oleh saya seorang, beberapa kamar di dalam penginapan yang mirip seperti rumah tersebut kosong. Tidak ada televisi dan radio, namun sinyal telepon masih sanggup mencapai wilayah ini, memainkan Blackberry saya adalah hiburan saya satu-satunya malam itu. Perlahan saya mulai terpejam, hingga benar-benar terlarut dalam mimpi.

Matahari pagi mulai menembus dari celah tirai kamar saya, terkaget saya bangun dan melihat jam, ternyata baru jam 5 pagi, untunglah karena saya mengira itu sudah jam 8 lewat. Pagi datang lebih cepat di wilayah ini, karena dekat dengan zona perbatasan waktu WIB dan WITA, tidak heran jika jam 5 pagi matahari sudah mulai muncul.

Gunung Baluran di kejauhan

Bergegas saya membuka pintu penginapan, sudah ada beberapa monyet yang menyapa kehadiran saya pagi itu pada pelataran parkir penginapan, sepotong roti terakhir yang saya pegang diputuskan untuk diberikan kepada mereka. Sungguh lucu saat mereka berebut mengambil potongan roti tersebut, berujung pada seeokor monyet yang berhasil mendapatkan potongan itu dikejar-kejar oleh rekannya.

Cepat saya berjalan menuju Pantai Bama untuk memulai kegiatan trekking saya, sebentar saya berhenti pada menara pengawasan yang berada sedikit ke tengah savanna, menaiki tangga tersebut perlahan khawatir suara langkah saya akan terdengar oleh kawanan rusa yang berjarak tidak jauh dari menara. Kawanan rusa ini cukup banyak, lebih dari 50 ekor tebak saya saat itu, yang paling menarik perhatian saya adalah rusa jantan dengan tanduk sangat tinggi yang memisahkan diri dari rombongan, dengan anggunnya berjalan ke arah berlawanan dari rombongan. Kamera saya bidikkan ke arahnya, zoom sudah maksimal, tapi gambar yang didapat kurang maksimal, maklumlah kamera pocket saya tidak mampu lebih jauh mengambil gambar.

Rusa jantan di savana Bekool

Kumpulan rusa di balik semak

Tiga kilometer jarak perjalanan yang saya tempuh hingga bisa sampai di Pantai Bama, terdapat beberapa bangunan penginapan, wc umum, rumah penjaga dan kantin di Pantai Bama. Tidak sabar saya menghampiri kantin itu untuk memesan 1 piring mie goreng kesukaan saya dan es teh manis, setelah berjalan cukup jauh, rasanya sungguh nikmat.

Kondisi Pantai Bama sangat sepi pagi itu, ombak bergantian mencapai pinggir pantai, sebenarnya di pantai ini bisa melakukan snorkeling dan perairan bawah lautnya cukup bagus menurut teman saya, namun sayang ombak pagi itu yang cukup kuat menghalangi niat saya melihat keindahannya. Langkah saya arahkan menyusuri Pantai Bama, di kejauhan nampak segerombolan monyet memperhatikan gerak-gerik saya, monyet disini lebih banyak daripada di Bekool.

Pantai Bama

Perjalanan pulang menuju Bekool saya putuskan melewati jalur trekking dan bird watching dengan menyusuri pinggir hutan bakau. Beberapa biawak dan kadal hilir mudik di depan saya, sebelum sempat saya ambil gambar mereka sudah kabur takut dengan keberadaan saya. Sampailah saya pada sebuah papan bertuliskan “Sumber Manting”, konon tempat ini  adalah pemandian Mbah Cungking yang dulunya Senopati Kerajaan Blambangan.

Jalur trekking


Perjalanan saya teruskan hingga bertemu dengan dua ekor merak lagi yang sedang berkejaran, saya mencoba mengambil gambarnya, namun mereka cepat hilang ke dalam semak berduri. Jalur trekking ini berujung pada jalan utama yang saya lalui sebelumnya saat ke Pantai Bama.

Trekking di savanna

Matahari semakin terik, peluh mulai membasahi baju yang saya kenakan saat itu, jam pun saya lirik, ternyata baru jam 8 pagi. Di padang savanna sudah ada beberapa orang yang sibuk membabat tanaman dan membakarnya, sempat heran dengan kegiatan mereka, tapi saya mengurungkan maksud untuk bertanya.

Rest In Peace

“Halo mas, kemana saja? Saya pikir masih tidur tadi”, sapa ramah petugas penjaga di Bekool begitu melihat kedatangan saya.

“Saya habis trekking ke Pantai Bama mas, lalu ke jalur bird watching”, jawab saya.

“Semalam tidur jam berapa mas?”, tanyanya lagi. “Padahal semalam ada segerombolan banteng yang mendekat ke penginapan, jumlahnya banyak, sekitar 40 ekor”, sambungnya.

“Yah saya tidur jam 8 pak, saya sekali tidak sempat melihatnya”, sesal saya.

Setelah mandi, saya pun berpamitan kepada para penjaga kawasan Taman Nasional Baluran yang ramah-ramah itu. Diantar motor penjaga, saya pun meninggalkan Taman Nasional Baluran yang indah itu. Di perjalanan, saya sempat menanyakan perihal pembabatan dan pembakaran tanaman yang saya lihat sebelumnya, ternyata yang dibabat adalah pohon Acasia Nilotica, pohon yang berasal dari Afrika ini dulunya ditanam untuk mencegah kebakaran, namun perkembangannya tanaman ini menghambat pertumbuhan tanaman lain yang ada di sekitarnya untuk tumbuh, sehingga dapat mengancam ekosistem savanna, oleh karena itu tanaman tersebut dibabat habis dan dibakar.

Sampai jumpa di lain waktu Africa Van Java.

Fact Behind Story :

Bus Banyuwangi - Baluran          : Rp.8.000
Tiket Masuk TN Baluran            : Rp.2.500
Ojek Gerbang Baluran - Bekool : Rp.20.000
Penginapan                                 : Rp.35.000/orang

No comments:

Post a Comment

My TripAdvisor