Friday, December 23, 2011

Permata Terpendam Itu Kawah Ijen

Bau sengit kopling terbakar menyeruak dari dalam mesin motor pinjaman Gilang, teman saya yang berbaik hati meminjam motor temannya untuk mengantarkan saya menuju titik terdekat dengan Paltuding, tempat pemberhentian terakhir sebelum Kawah Ijen.



“Lang, sudah sampai sini saja, kasihan motornya gak kuat tuh”, jelas saya pada Gilang.

Jalan Menuju Kawah Ijen

Jalan menuju Kawah Ijen melalui rute Banyuwangi memang rusak berat, lebih menyerupai batu yang disusun  secara acak daripada terlihat sebuah jalan. Dikelilingi dengan tanaman cukup lebat di kanan kirinya, jalan ini sepi sekali, hanya terlihat sesekali motor para pencari rumput yang melintas.

“Pak, apakah Paltuding masih jauh dari sini?, Tanya saya kepada salah seorang pencari rumput yang melintas dengan motornya.

“Oh tidak terlalu jauh, kira-kira 2 km lagi sampai”, jawabnya.

“Tuh Lang, tinggal 2 km lagi, sudah dekat kok. Loe mendingan balik aja gih, kasihan motornya tuh”, terang saya kepada Gilang yang sepertinya tidak tega meninggalkan saya di tempat itu.

Tak lama Gilang menghilang dalam kepulan asap motor di balik rindangnya tanaman, saya pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki ke Paltuding. Tawaran dari beberapa pencari rumput yang berprofesi sambilan sebagai tukang ojek untuk mengantarkan saya ke Paltuding saya tolak halus. Betapa tidak, saya harus membayar Rp.100.000,- untuk jasa pengantarannya, sayang sekali padahal sudah dekat pikir saya saat itu. Jalan pun saya teruskan, sambil sesekali mengambil foto tanaman-tanaman unik di sepanjang jalan yang dilalui.


Beberapa mobil yang menatap saya saat melintas berlawan arah dengan saya, mungkin mereka heran karena saya berjalan kaki saat itu. Suasana sekitar cukup sunyi, hanya terdengar suara satwa di kejauhan. Bunyi suara mobil di kejauhan kemudian semakin mendekat ke arah saya, ternyata itu truk yang mengankut para penambang belerang yang kembali ke bawah. Tidak lama, kembali suara mobil berderu-deru di kejauhan, kali ini mobil menuju atas, yang saya yakin melintasi Paltuding.

Truk Pengangkut Beleran

“Pak, boleh saya menumpang sampai Paltuding?”, Tanya saya kepada pria berkemeja lusuh yang duduk di samping supir.

“Silakan, naik saja mas  ke belakang mobil”, sambutnya ramah.

Mobil itu adalah pick-up yang biasa digunakan untuk membawa hewan ternak dan pakannya. Tidak apa-apalah pikir saya, daripada saya harus terus jalan. Sepertinya mobil ini sudah membawa saya lebih dari 2 km, tapi tidak sampai juga di Paltuding, tebak saya jaraknya lebih dari 2 km ke Paltuding. Tidak lama berselang, mobil itu pun berhenti, sang supir memberi isyarat kepada saya jika sudah sampai di Paltuding.

Paltuding yang merupakan titik terakhir pemberhentian sebelum ke Kawah Ijen nampak seperti pelataran parkir dengan beberapa bangunan kecil dan warung di sekitarnya. Saya pun menyapu pandangan kesekitar, berusaha mencari tahu mengenai kondisi disana. Langkah saya pun diarahkan ke warung kecil yang terletak agak jauh dari tempat parkir kendaraan. Cuaca saat itu cukup mendung namun tidak nampak akan hujan, angin berhembus kencang sesekali, menambah dingin cuaca saat itu.

Paltuding

Sepiring mie goreng dan teh manis panas segera masuk ke dalam perut saya tidak lama setelah dihidangkan, teh manis panas tersebut tidak lama sudah berubah menjadi teh dingin karena cuaca yang dingin.

Jam baru menunjukkan pukul 2 siang, pelataran parkir yang sebelumnya dipenuhi beberapa mobil pengunjung, perlahan mulai kosong, satu per satu pengunjung mulai meninggalkan Paltuding. Tidak ada sinyal hp yang cukup kuat untuk menjangkau daerah ini, terpaksa hp saya matikan untuk menghemat baterai.

Tak lama saya menghampiri pos penjagaan dan membayar biaya retribusi pengunjung, saya memutuskan untuk menginap di Paltuding dengan menyewa sebuah kamar di dekat pos penjagaan. Beberapa penginapan yang dikelola oleh Perhutani memang tersedia di Paltuding, dengan harga yang bervariatif. Sayang sekali membayar kamar ini dengan harga normal, namun hanya ditempati saya seorang. Buku registrasi tamu pun saya lihat-lihat, mungkin saja ada pengunjung yang berminat untuk menginap dan berbagi kamar dengan saya.

Kamar di Paltuding

“Ada kok mas, orang Perancis sendirian juga tadi”, jelas petugas pos penjagaan ketika saya bertanya perihal pengunjung lain yang akan menginap.

Namanya Cedric Drulang, namun lebih suka dipanggil Ced, seorang pria berkewanegaraan Perancis yang tinggal di perbatasan antara Swiss dan Perancis. Dia sudah berada di Indonesia kurang lebih 1 bulan, datang ke Paltuding setelah menyusuri Sumatera dan Jawa. Setelah mengutarakan niat saya untuk berbagi kamar dengannya, dia pun setuju. Semula Ced berniat untuk bermalam di gazebo kecil di samping warung, namun setelah saya menjelaskan berapa derajat suhu malam hari, Ced pun goyah dan akhirnya memilih untuk bermalam dalam kamar.

Kami menghabiskan sore dengan berjalan-jalan di sekitar Paltuding, sekitar 50 meter dari warung tempat kami duduk ada pos penimbangan belerang. Suasanya sunyi senyap, tidak nampak para pekerja yang membawa belerang, hanya ada beberapa keranjang belerang yang tergeletak begitu saja. Ada bangunan yang saya duga sebagai loket pembayaran, di depannya terdapat timbangan yang sudah tua.

Pos Penimbangan Belerang di Paltuding

“Sore mas”, sapaan tersebut mengagetkan saya, saya yakin Ced juga kaget. Nampak seorang pria agak gemuk berumur sekitar 50 tahun yang keluar dari gubuk, pria ini masih nampak sehat di usianya yang saya duga melewati kepala 5.

“Sore pak, kami hanya melihat-lihat disini, kami kira ada pekerja, taunya sepi”, jawab saya.

“Oooh silakan saja mas jika mau melihat-lihat, para pekerja masih libur Lebarang sampai awal minggu depan. Jadi disini sepi sekali, biasanya ada sekitar 400 orang pekerja yang hilir mudik setiap hari”, terangnya.

Pandangan saya tertarik pada sekeranjang penuh belerang yang terletak disamping timbangan.

“Ini berat tidak pak?”, Tanya saya sambil mencoba mengangkat keranjang.

“Yaa sekitar 80kg kalo keranjang yang itu”, jawabnya santai.

Keranjang Penuh Belerang

Pantas saja, keranjang belerang itu tidak beranjak dari tempatnya karena saya tidak sanggup mengangkatnya. Tidak dapat membayangkan jika setiap hari para pekerja harus berjuang memikul keranjang penuh belerang tersebut ke tempat penimbangan ini.

Jalan Menuju Kawah Ijen

Hari berganti malam, mesin genset mulai dinyalakan untuk memberi penerangan di sekitar Paltuding. Suara mesin genset dikejauhan cukup memekakkan telinga, meraung di tengah sunyinya malam.

Beberapa orang yang berkumpul pada warung kecil itu sedang mengobrol, mengeluarkan asap setiap kali mereka membuka mulutnya. Cuaca yang cukup dingin membuat gigi saya bergemertak kecil, menandakan saya benar-benar kedinginan malam itu, salah saya yang tidak membawa jaket tebal saat itu.

Jam delapan malam, saya memutuskan untuk kembali ke kamar untuk segera tidur, karena perjalanan menuju Kawah Ijen akan kami mulai pada jam 3 pagi. Pintu kamar sudah ditutup rapat, badan sudah saya masukan dalam sleeping bag hangat, sia-sia, dinginnya cuaca tetap mampu menusuk hingga ke persendian saat itu. Ced belum terlalu mengantuk, ia membaca buku berbahasa Perancis yang tidak saya mengerti.

Bunyi alarm yang keras membangunkan saya pagi itu, jam 3 pagi sudah, lalu saya membangunkan Ced yang masih terlelap. Jalan dari Paltuding ke Kawah Ijen sudah bagus dan rata, cuma permukaan yang berpasir menyebabkan terkadang menjadi licin dan rawan tergelincir. Suhu pagi itu 5 derajat Celcius, yang saya ketauhi dari thermometer di depan pos penjagaan. Sinar senter Ced menuntun kami berjalan sejauh 5 km hingga ke puncak, beberapa pengangkut belerang berpapasan di perjalanan dengan kami dan tersenyum ramah.

Penambang Belerang

Kami sampai di puncak sekitar satu jam kemudian, hembusan angin yang kuat menggetarkan badan saya, saya mencoba untuk terus menggerakan tangan dan badan agar tetap hangat, namun tidak berpengaruh banyak. Dari atas sini, kami dapat melihat pemandangan yang sungguh indah, api alami yang berwarna biru menyala pada dasar kawah.

Menghancurkan Belerang

Papan Larangan Ini Hanya Terbaca di Siang Hari
Matahari pagi mulai bergerak menunjukkan cahayanya, kami pun bergegas turun ke bawah kawah menuju bibir kawah. Jalan bebatuan yang kasar menyebabkan kami harus ekstra hati-hati jika tidak ingin tergelincir jatuh ke dasar kawah. Setelah cukup berjuang mencari jalan yang aman dilewati, kami sampai juga di bibir kawah, bau sengit belerang menusuk hidung berakibat kami batuk berkali-kali.


“Are you okay?”, Tanya Ced kepada saya.

“Yeah, I’m fine, but this smoke is quite thick”, jawab saya sambil terbatuk-batuk.

“Where’s your small towel? Give water to you towel”, seru Ced sambil menyodorkan sebotol air mineral dengan maksud agar handuk saya dibasahi.

Perlu waktu beberapa lama untuk membiasakan diri dengan bau asap belerang ini sebelum berhenti batuk. Kami bertemu dengan penjaga kawah yang dipekerjakan oleh satu perusahaan berkantor di Surabaya, rupanya belerang di Kawah Ijen adalah milik perusahaan dan dilarang dijualbelikan secara illegal, termasuk dijual sebagai cenderamata oleh para pekerjanya. Memang, untuk menambah penghasilan, para pengangkut belerang mencoba untuk menjual belerang sebagai cenderamata, bentuknya macam-macam, dibentuk dengan cetakan es, sehingga menyerupai kura-kura, ranting, dan lain-lain. Harga jualnya tidak terlalu mahal, antara Rp.5.000 – Rp.20.000 tergantung dengan kemampuan menawar.

Cenderamata dari Belerang

Kepulan Asap di Kawah Ijen

Gunung Ijen terletak pada ketinggian 2.368 meter di atas permukaan laut, dengan ukuran kawah sekitar 960 x 600 meter. Kawah Ijen adalah salah satu kawah asam terbesar di dunia, derajat keasamannya mendekati angka nol derajat, dengan derajat keasaman seperti itu, air pada Kawah Ijen ini mampu melarutkan pakaian dengan cepat. Wow.

Saya dan Ced merupakan pengunjung pertama yang sampai di tepi kawah pagi itu, menunggu datangnya cahaya matahari pagi yang datang agar menyinari air di Kawah Ijen. Perlahan cahaya matahari mulai naik dan menunjukkan sinarnya, selanjutnya yang terjadi pada warna air di kawah sungguh mengagumkan. Sinar matahari memantulkan warna pada air kawah, memberi efek warna biru kehijauan, suasana tambah eksotis dengan munculnya asap dari celah kawah yang bertiup ke arah kawah.

Cedric dengan Kerangjang Belerang

Kawah Ijen Yang Derajat Keasamannya Tinggi

Beberapa pengunjung mancanegara mulai berdatangan ke pinggir kawah, mereka nampak sangat menikmati keadaan dan pemandangan di Kawah Ijen. Nampak ada yang mencoba mencuci muka dengan air di Kawah Ijen, saya pun mencoba untuk merasakan air dengan derajat keasaman yang tinggi ini dengan membasuh kedua tangan. Rasanya setelah membasuh, tangan sedikit licin dan lengket, mungkin ini yang namanya air asam. Tidak sadar saya terduduk pada batu di pinggir kawah yang basah oleh air asam, tak lama setelah saya berdiri ternyata celana saya sobek pada bagian yang saya duduki, rupanya inilah hasil nyata dari derajat keasaman mendekati nol pikir saya saat itu.

Kawah Ijen

Kawah Ijen

Asap belerang semakin tebal dan pekat bertiup ke arah kami, sehingga kami harus menghindar beberapa saat. Setelah dirasa cukup berada di bibir kawah, saya pun mengajak Ced untuk kembali ke Paltuding, karena asap akan semakin tebal dan bertiup ke arah jalan setapak menuju Paltuding jika agak siang.

“Mari pak, kami duluan kembali ke Paltuding”, pamit saya kepada salah satu pengangkut belerang di pinggir kawah sambil menyerahkan sedikit uang. Ia pun memberikan kami cenderamata belerang yang berbentuk seperti stalagmite.



Puncak Gunung Ijen

Tantangan saat menapaki jelan pulang ke Paltuding adalah licinnya jalan karena dipenuhi oleh pasir, berulang kali saya harus terpeleset walau sudah berjalan pelan-pelan. Setelah berjalan beberapa saat, sampailah kami pada sebuah warung yang dijadikan pos pertama bagi para pengangkut belerang. Di pos ini, belerang akan ditimbang untuk pertama kalinya, sebelum sampai di Paltuding. Tampak beberapa keranjang belerang bersiap untuk ditimbang, dilihat sekilas keranjang tersebut nampak tidak berat. Namun nyatanya keranjang tersebut minimal mempunyai berat 60kg.

Penimbangan Belerang Pertama

Sungguh perkasa para pengangkut belerang ini, walaupun rata-rata mereka sudah berumur dan telah bekerja di Kawah Ijen selama kurang lebih 10 tahun, bahkan ada yang sudah 20 tahun bekerja di Kawah Ijen, mereka tetap semangat menjalani pekerjaannya. Setiap hari, seorang pekerja jika kondisi fisiknya sehat, mampu bolak-balik berjalan sejauh 5km dengan memikul dua keranjang isi 80 kg sebanyak 2 – 3 kali. Sungguh berat perjuangan mereka untuk menghidupi keluarganya, pikir saya saat itu. Betapa tidak, per satu kg belerang yang mampu mereka angkut hingga Paltuding, hanya mendapat bayaran sangat minim, Rp.825, berarti dalam sehari jika rata-rata mereka mampu 2 kali bolak-balik, hanya membawa pulang uang sebanyak Rp.132.000.

Alasan apakah yang mendasari mereka bertahan untuk bekerja lama sebagai pengangkut belerang, rupanya setelah bertanya kepada beberapa pengangkut belerang, faktor tidak adanya lagi pekerjaan yang bisa mereka lakukan sebagai alasan utama bekerja sebagai pengangkut belerang, disamping mereka bisa membawa uang tunai setiap hari tanpa harus menunggu untuk menerima gaji pada akhir bulan jika menjadi pengangkut belerang. Perusahan pemilik tambang memang menetapkan pembayaran secara tunai setiap hari kepada para pengangkut belerang.

Warung di Paltuding saat itu ramai oleh pengungjung, saya dan Ced berencana akan menumpang truk pengangkut belerang untuk turun dari Kawah Ijen, menurut jadwal truk akan turun sekitar jam 1 siang.

“Hey, I got company, we can go to Banyuwangi with them”. Ujar Ced sambil menunjuk pada dua pria asing yang ternyata sama-sama berkewarnegaraan Perancis seperti Ced.

“They rent a minivan, still several seats available for us”, sambungnya.

“Is that okay if I join them?”, Tanya saya tak yakin.

Namun, saya mencoba nekat, jika tidak medapat tumpangan sekarang, belum tentu ada truk pengangkut belerang yang datang dikarenakan masih dalam suasan libur lebaran.

Saya pun mengikuti Ced untuk membereskan tas di penginapan, tak lama saya sudah duduk manis dalam mobil minivan. Saya yakin sekali mereka sebenarnya keberatan jika saya ikut menumpang, namun berusaha cuek saja, terlebih saat saya memasukkan barang ke dalam minivan yang disertai tatapan aneh dari mereka.
Ced dan teman barunya sudah asik mengobrol dalam bahasa Perancis yang mana saya tidak mengerti, akhirnya saya pun tertidur dalam minivan selama kurang lebih 2 jam.

Minivan berhenti di depan Pelabuhan Ketapang, menurunkan para penumpang dan barang bawaannya. Saya pun berpisah dengan Ced dan kedua temannya, karena mereka akan menuju Bali, sedangkan saya akan ke Surabaya.

Fact Behind Story :
Banyuwangi - Kawah Ijen          : Gratis
Kawah Ijen - Banyuwangi          : Rp.25.000 menumpang mobil travel
Penginapan di Paltuding              : Rp.100.000/kamar/hari
Makan                                       : Harga normal, teh manis panas Rp.2.000, mie goreng Rp.4.000

No comments:

Post a Comment

My TripAdvisor