Monday, November 12, 2012

Aku Tak Mau Jadi Guru


Aku masih ingat ketika menggumam kalimat ini, “Andai aku besar nanti, aku tak mau jadi guru”. Tidak ada yang menyalahkan pilihanku saat itu, baik orangtuaku maupun teman-temanku, terpikir olehku saat itu menjadi guru adalah profesi terakhir yang akan aku pilih jika tak ada lagi profesi lain menjadi pilihan. Aku memang masih kecil saat itu, menginjak kelas 4 sekolah dasar, di sebuah sekolah dasar negeri di Timur Jakarta, sebuah sekolah unggulan yang sangat diminati di wilayah tersebut, sehingga siswanya harus bersesakan dalam 1 buah ruang kelas kecil dimaksimalkan untuk menampung sebanyak 60 siswa dalam satu kelas. Sempit memang, bergerak pun susah, tapi itu yang harus kami hadapi setiap hari.



Bukan tanpa alasan aku tak mau menjadi guru, kala itu seorang anak kecil sepertiku sudah bisa melihat sendiri betapa profesi guru tidaklah sebanding dengan kemuliaan yang ia lakukan dengan membagikan ilmu kepada muridnya. Sebut saja masalah kesejahteraan, aku ingat sekali salah seorang guruku dulu, Pak Sardi, begitu aku memanggilnya, tinggal di rumah kecil di komplek sekolah kami, motornya butut, ia harus meluangkan waktunya selepas sekolah usai untuk memberikan les kepada siswa lainnya guna mendapat uang tambahan. Penghasilannya sebagai guru tidak mencukupi untuk memenuhi kebetuhan rumah tangganya.

Kondisi pendidikan di Indonesia memang tak lebih baik dari tahun ke tahun, setidaknya aku masih bisa bersyukur karena masih mempunyai ruang sederhana kelas beratapkan genteng yang tidak rapuh, masih bisa melindungi kami dari hujan dan panas matahari. Aku membandingkan dengan saudara sebangsaku yang kurang beruntung, mereka bisa bersekolah, namun harus jalan kaki beberapa km, menyebrang sungai, bahkan menaiki perahu untuk mencapai sekolahnya, belum lagi kondisi sekolahnya yang jauh berbeda denganku, gedung yang rapuh, atap jebol di beberapa bagian, dan terkadang ketiadaan guru. Kondisi yang jauh berbeda denganku yang hidup di kota besar seperti Jakarta.

Pendidikan itu mahal. Kalimat tersebut benar adanya, tidaklah murah untuk mendapatkan pendidikan bagus di Indonesia. Aku menyadari banyak saudara sebangsaku yang harus putus sekolah, karena ketiadaan biaya. “Jangankan untuk biaya sekolah, biaya hidup sehari-hari aja kami pas-pasan”, tutur mereka. Aku sadar kondisi ini tak bisa dibiarkan terus berlarut, entah menjadi apa bangsa ini jika pendidikan, sebagai pilar utama bangsa saja tidak mendapatkan perhatian serius.

Menurut beberapa survey, kualitas guru di Indonesia masih di bawah negera berkembang lainnya. Konsep pendidikan di Indonesia mengajarkan lebih banyak terpaku pada komunikasi satu arah, dari guru ke muridnya, sehingga acapkali siswa kurang mempunyai keberanian untuk berkomunikasi saat dihadapkan dengan situasi nyata. Belum lagi sering bergantinya kurikulum pendidikan di Indonesia, berganti pemerintahan, bisa dipastikan berganti pula sistem pendidikannya. Kasihan siswa-siswa seperti aku, harus merasakan pergantian kurikulum, sehingga membingungkan kami sendiri.

Aku percaya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan tangguh, kami bisa melewati kondisi ini, bertahap dan pasti kami segera memperbaiki kondisi pendidikan ini, dengan mempersiapkan guru-guru berkualitas guna mendapatkan bibit bangsa yang berkualitas juga. Aku percaya suatu hari itu pasti datang.


1 comment:

My TripAdvisor