“Jangan terlalu dekat dengan
mereka, minimal 7 meter jarak normalnya. Walaupun mereka terlihat jinak, tapi
kekuatannya jangan diremehkan”, pesan Akim.
“Orangutan wanita dewasa
kekuatannya sebesar 4 orang pria dewasa, sedangkan orangutan pria dewasa
kekuatannya sebesar 8 orang pria dewasa”, sambungnya.
Tiba-tiba…krreekkk….praakkk..bunyi
ranting pohon yang patah. Ucok, salahsatu orangutan senior disitu dengan
santainya mematahkan ranting pohon ukuran paha orang dewasa. Andaikan itu
manusia, pasti sudah remuk dipatah-patahkannya.
Akim tersenyum melihat saya yang
baru saja melihat kejadian tadi. Akim, seorang pemuda lokal asal Aceh berusia
kurang lebih 26 tahun. Badannya kurus, dengan celana pendek dan sepatu kets
seadanya ia bergerak lincah memandu saya menembus hutan di Taman Nasional
Gunung Leuser.
****
Kami memulai trekking cukup
telat, jam 1 siang. Akim menyanggupi jika paling lambat jam 6 sore saya sudah
kembali ke penginapan. Karena saat itu sedang bulan Ramadhan dan saya berpuasa.
Sempat ragu akankah saya sanggup trekking dalam kondisi berpuasa, tapi
Alhamduliilah saya sanggup.
Trekking dimulai dari
perkampungan Bukit Lawang dengan menyebrangi jembatan gantung yang
menghubungkan dua sisi Sungai Bohorok. Sungai Bohorok cukup dangkal, dengan
batuan kali yang cukup besar.
Jembatan gantung |
Sungai Bohorok |
“Lihat itu di atas pohon sana!”,
Akim menunjuk ke arah 20 meter dari tempat saya berdiri. Terlihat sesosok
monyet kecil berwarna hitam dengan garis putih, saat dilihat lebih jelas ia
mempunyai tatanan rambut spike di kepalanya.
“Itu adalah Thomas Leaf Monkey”
sambung Akim.
Tertawa saya mendengar namanya
yang lucu, saya tak terlalu peduli dengan namanya, tapi sosok ini sungguh lucu.
Tak lama Thomas-begitu saya menyebutnya, berpindah dengan cepat ke pohon
lainnya.
Menemukan orangutan di Taman
Nasional Gunung Leuser tidak bisa dibilang mudah, karena Taman Nasional Gunung
Leuser adalah habitat aslinya, bukan kawasan konservasi seperti di Taman
Nasional Tanjung Puting di Kalimantan. Akim bercerita kadang ia membawa tamu
sudah seharian trekking di Gunung Leuser tapi tak dapat menemukan orangutan.
Tapi, pengunjung bisa melihat orangutan saat feeding time, 2 kali sehari.
Kami terus berjalan, menuruni dan
menaiki bukit, belum satupun terlihat orangutan. Akim tidak patah semangat, ia
terus melihat jejak-jejak orangutan dari dahan-dahan di pohon.
Sssttt…Akim menyuruh agar saya
tidak terlalu berisik, seraya ia menunjuk ke atas pohon. Itu dia, yang selama
ini saya tunggu-tunggu, ada seekor orangutan wanita dewasa di atas pohon, tak
jauh dari pohonnya, ada lagi sesosok orangutan yang lebih kecil, itu adalah anaknya
jelas Akim.
Kami lanjutkan perjalanan, tak
jauh dari lokasi pertama, semakin banyak orangutan yang kami temui, ukurannya
bermacam-macam. Yang paling menarik perhatian saya adalah seekor orangutan
kecil, menurut Akim usianya baru 1 tahun. Ia menatap nanar melihat kehadiran
kami, seolah mengisyaratkan ia ingin diberi makan.
Sebenarnya memberi makan
orangutan dilarang bagi pengunjung, namun beberapa guide ada yang nakal dengan
membiarkan pengunjung memberi makan orangutan.
“Takutnya jika diberi makan
selain menu yang biasa mereka makan, akan sakit”, jelas Akim.
“Jika ranger taman nasional
melihat, guide tersebut akan dimarahi pasti”, sambungnya.
Akim memang tidak membawa makanan
untuk orangutan, ia peduli terhadap orangutan. Feeding station menjadi tempat
terakhir yang saya kunjungi, saat itu masih kosong, belum ada satupun orangutan
yang mendekat ke feeding station. Seorang ranger taman nasional membawa seember
pisang lalu dilemparkan ke atas feeding station yang berbentuk alas kayu.
Ranger tersebut lalu mengeluarkan suara-suara memanggil orangutan.
Ucok di feeding station |
*****
Saya berjalan menuju tepian
Sungai Bohorok, perjalanan menuju penginapan bukan lagi trekking, tapi river
tubbing-begitu mereka menyebutnya. River tubbing menggunakan ban karet besar
yang diikatkan dengan tali, bisa terdiri dari 3 – 4 ban menjadi seperti perahu
pada rafting.
Akim duduk di ban paling depan
memegan batang kayu berukuran panjang 2 meter, dan seorang teman Akim duduk di
paling belakang memegang tas saya. Perlahan ban tersebut meninggalkan tepian
sungai dan bergerak ke tengah sungai. Akim dengan sigap mengarahkan ban agar
tidak menyangkut di batu kali, beberapa kali kami melewati riam sungai yang
membuat suasana menjadi tegang. Namun, ini sungguh mengasikkan.
Untuk mencapai Bukit Lawang, dari
kota Medan diperlukan waktu selama 3 – 4 jam, melewati perkebunan kelapa sawit
milik PTPN dan London Sumatera. Kendaraan umum banyak melayani rute ini, cukup
membayar Rp.15.000 dari terminal Pinang Baris hingga terminal Bukit Lawang.
Terminal Bukit Lawang |
Dari terminal Bukit Lawang ke
penginapan, bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1 KM, atau pilihan lain
menggunakan bentor dengan membayar Rp.5.000. Ada banyak penginapan di Bukit
Lawang, harganya bervariatif, mulai dari harga Rp.75.000/malam. Untuk trekking di Bukit Lawang wajib didampingi oleh guide, harga yang ditawarkan memang agak mahal, biasanya mereka menawarkan harga sebesar Rp.300.000 - Rp.350.000 per orang. Namun, harga tersebut bisa dibicarakan, terlebih bagi pengunjung lokal.
Jika bingung untuk mencari hotel
di Bukit Lawang, bisa memanfaatkan jasa Rajakamar, website online penjualan
hotel murah di seluruh Indonesia. Harga yang ditawarkan murah dibandingkan website
serupa, selain itu Raja Kamar sering mengadakan promosi, seperti promo hotel 88rb saja. Semoga Rajakamar nantinya bisa membuat program liburan gratis bagi para anggotanya.
No comments:
Post a Comment