Sunday, November 6, 2011

Surabaya. A City With History.


Lihat Peta Lebih Besar


Riuh rendah bunyi klakson menyambut kedatangan kami begitu keluar dari Stasiun Gubeng, angkutan umum yang ngetem mencari penumpang, calo yang berebut menawarkan jasa taksi dengan cara yang halus, sampai agak kasar dengan menarik-narik lengan kami, abang becak yang juga ikut menawarkan jasa menaiki becaknya kepada kami, yang semuanya kami coba tolak dengan halus. Kami sudah mewaspadai ini kisruh yang mungkin akan terjadi seperti ini dengan membaca beberapa pengalaman orang yang berkunjung ke Surabaya.

Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Struktur dan tatanan kotanya pun tidak jauh berbeda dengan Jakarta, sama-sama menyandang sebagai kota metropolitan, namun yang sedikit berbeda menurut sekilas pandangan saya, Kota Surabaya terlihat lebih tua dari Jakarta, banyak bangunan yang tidak mengalami perubahan dari segi arsitekturnya, dibandingkan Jakarta yang lebih terlihat moderen.

Panas dan terik, itulah suasana Surabaya di siang hari, sebagai kota yang terletak dekat dengan pantai, wajar kiranya bercuaca seperti ini, tidak ubahnya seperti Jakarta di siang hari. Becak masih merupakan moda transportasi yang diperbolehkan bersanding dengan kendaraan bermotor pada jalan raya. Kemacetan juga merupakan hal yang biasa terjadi di kota ini, walaupun tingkatnya belum perlu diwaspadai seperti kemacetan di Jakarta.

Lucunya, angkutan kota (angkot) disini tidak mempunyai tulisan rute di angkotnya, yang tertera hanya huruf, seperti Z, N, dan lainnya. Orang Surabaya menyebut angkot dengan Len. Jadi kalo mau pergi ke suatu tempat, nanti akan diberi petunjuk naik Len Z, kemudian naik lagi Len N. Nah kalau saja yang naik tidak tahu rute Len-nya, apa tidak makin bingung?.

Kami tinggal di Perak, dekat tempat kami tinggal ada rumah makan bebek yang (katanya) enak, namanya Warung Ana. Setelah mencoba membeli, ternyata memang enak sekali rasanya. Daging bebeknya empuk dan gurih, diberi sedikit kuah kaldu pada nasi. Warung ini buka mulai dari siang hari, biasanya sore hari sudah tutup karena habis.

Esok harinya, cuaca Surabaya mendung, gerimis sudah turun sejak pagi hari, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk berkeliling Surabaya. Tempat pertama yang kami tuju adalah Jembatan Merah, tempat pertempuran pada bulan Oktober 1945 yang menewaskan Brigjen Mallaby, seorang komandan pasukan sekutu.

Sampai di Terminal Jembatan Merah dengan menaiki Len dari Perak, kami lalu mampir sebentar ke Hotel Ibis Rajawali, bangunan hotel ini merupakan bangunan tua, namun ditata dengan apik, sehingga tetap terlihat sebagai hotel berbintang, dengan tidak mengurangi nilai estetika sejarah bangunannya. Ada cerita lucu, kami  tidak tahu rupa dan bentuk Jembatan Merah seperti apa, lalu kami pun coba bertanya kepada orang yang ada di sekitar Terminal Jembatan Merah, kami diarahkan untuk naik becak karena jaraknya 3 km dari terminal. Setelah memanggil tukang becak yang ada di depan terminal, kami lalu minta diantarkan ke Jembatan Merah, langsung saja tukang becak berkata jika kami sedang berdiri di atas Jembatan Merah sekarang haha, ternyata yang lokasinya 3 km itu adalah monumennya. Abang becaknya pun ngomel, karena merasa kami kerjai.

Jembatan Merah

Jembatan Merah sudah, selanjutnya tujuan kami adalah Tugu Pahlawan yang terletak di Jalan Pahlawan, monumen yang bentuknya seperti paku terbalik dengan tinggi 40,5 m ini merupakan monumen kebanggaan masyarakat Surabaya, sebagai bukti perjuangan mereka melawan penjajah. Berdiri tegak di atas tanah lapang seluas 1,3 hektar, dengan tatanan taman yang terawat baik, tugu ini dikelilingi oleh pagar setinggi 2 m.
Tugu Pahlawan, Surabaya



Di dalam lokasi tugu ini juga terdapat Museum 10 November, di dalam museum ini menyimpan koleksi berbagai persenjataan yang digunakan pada pertempuran dulu. Selain koleksi persenjataan, museum ini juga memiliki diorama tentang pidato Bung Tomo saat mengobarkan semangat masyarakat Surabaya untuk berperang dan juga berbagai macam diorama lainnya. Ada satu prasasti di tugu ini yang menarik perhatian saya, tergores pada batu kali yang cukup besar, isi tulisannya singkat, tapi maknanya sangat dalam menurut saya, "Padamu generasi : Tanpa pertempuran Surabaya, sejarah bangsa dan negara Indonesia akan menjadi lain".

Salah satu pilar di Tugu Pahlawan
Apalagi yang menarik di kota ini? Monkasel atau Monumen Kapal Selam tentunya! Monumen ini terletak persis di samping Delta Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Monumen ini bukanlah replika dari kapal selam, tapi memang kapal selam yang memang asli dan pernah digunakan pada pertempuran membebaskan Irian Barat. Kapal ini aslinya bernama KRI Pasopati 410, buatan Rusia tahun 1952, kapal ini mempunyai panjang 76,6 m dan lebar 6,30 m, dengan kecepatan maksimal 18,3 knot (di atas permukaan) dan 13,6 knot (di bawah permukaan). Kapal ini sanggup menampung sebanyak 63 awak.

Monumen Kapal Selam (Monkasel)
Di dalam Monkasel

Begitu sampai di Delta Plaza, ternyata hujan turun cukup deras, saya dan Difa mencoba untuk berlari menuju loket tiket masuk ke monumen ini, setelah mendapat tiket, kami lalu berlari lagi, permukaan jalan yang licin membuat Difa yang mempunyai tinggi 190 cm dan berat 90 kg pun jatuh terjerembab, mendengar bunyi jatuhnya Difa seperti mendengar pohon yang tumbang, gedebukkkk..saya yang tak kuasa menahan diri untuk tidak tertawa, akhirnya tertawa juga. Sorry, my bro. Di dalam kapal selam, terdiri dari beberapa ruangan, ada ruang kemudi dan navigasi, ruang kabin awak dan dapur, ruang kontrol mesin, dan beberapa ruangan lainnya. Antar ruangan dipisahkan oleh pintu yang bersekat, agar jika terjadi kebocoran air saat kapal digunakan, maka tidak akan masuk ke ruangan lainnya. Peralatan yang ada di dalamnya tentu saja tidak dapat digunakan lagi, namun saya mencoba untuk menggunakan teropong pengintai yang ternyata masih berfungsi, namun kacanya buram, sehingga objek yang dilihat tidak jelas.

Suasana Surabaya di sore hari
Masjid Muhammad Cheng Ho menjadi tujuan kami selanjutnya, terletak di daerah Genteng, tidak jauh dari Balaikota Surabaya. Masjid ini didirikan sebagai penghormatan kepada Cheng Ho,  Laksamana asal Cina yang beragama Islam dan berjasa menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa oleh komunitas Tionghoa Islam di Surabaya. Pada abad 15, masa Dinasti Ming, orang-orang Tionghoa dari Yunnan berdatangan ke Pulau Jawa, Laksamana Cheng Hoo (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong kemudian menuju ke Semarang untuk menyebarkan agama Islam.
Masjid Muhammad Cheng Ho


Salah satu ornamen dinding di Masjid Cheng Ho

Bangunan masjid ini menyerupai pagoda, terlihat jelas perpaduan warna cerah khas Cina pada ornamen masjid ini. Masjid ini tidak terlalu besar, hanya menampung 200 jamaah, terletak di dalam komplek perumahan dan bagian dari salah satu sekolah.

Ya, seharian berjalan-jalan di Surabaya yang bertitel kota metropolitan memberikan makna yang dalam bagi kami, Surabaya, kota metropolitan yang masih menyimpan nilai sejarah. Kami akan kembali lagi ke kota ini dalam 3 minggu mendatang, so wait for our next story.


Fact behind story :
Tarif Len                      : Dekat Rp.2.000
                                   : Jauh Rp.3.000
Nasi Bebek Ana          : Rp.15.000/porsi
Tiket Monumen Pahlawan : Gratis
Tiket Museum 10 November : Rp.2.000/orang
Tiket Monkasel            : Rp.5.000/orang

No comments:

Post a Comment

My TripAdvisor