Thursday, June 20, 2013

Mencari Sosok Orangutan di Bukit Lawang

“Jangan terlalu dekat dengan mereka, minimal 7 meter jarak normalnya. Walaupun mereka terlihat jinak, tapi kekuatannya jangan diremehkan”, pesan Akim.

“Orangutan wanita dewasa kekuatannya sebesar 4 orang pria dewasa, sedangkan orangutan pria dewasa kekuatannya sebesar 8 orang pria dewasa”, sambungnya.

Tiba-tiba…krreekkk….praakkk..bunyi ranting pohon yang patah. Ucok, salahsatu orangutan senior disitu dengan santainya mematahkan ranting pohon ukuran paha orang dewasa. Andaikan itu manusia, pasti sudah remuk dipatah-patahkannya.

Akim tersenyum melihat saya yang baru saja melihat kejadian tadi. Akim, seorang pemuda lokal asal Aceh berusia kurang lebih 26 tahun. Badannya kurus, dengan celana pendek dan sepatu kets seadanya ia bergerak lincah memandu saya menembus hutan di Taman Nasional Gunung Leuser.
­­­­­­­­­­­                                                                          
                                                                    ****
Kami memulai trekking cukup telat, jam 1 siang. Akim menyanggupi jika paling lambat jam 6 sore saya sudah kembali ke penginapan. Karena saat itu sedang bulan Ramadhan dan saya berpuasa. Sempat ragu akankah saya sanggup trekking dalam kondisi berpuasa, tapi Alhamduliilah saya sanggup.

Trekking dimulai dari perkampungan Bukit Lawang dengan menyebrangi jembatan gantung yang menghubungkan dua sisi Sungai Bohorok. Sungai Bohorok cukup dangkal, dengan batuan kali yang cukup besar.
Jembatan gantung

Sungai Bohorok

“Lihat itu di atas pohon sana!”, Akim menunjuk ke arah 20 meter dari tempat saya berdiri. Terlihat sesosok monyet kecil berwarna hitam dengan garis putih, saat dilihat lebih jelas ia mempunyai tatanan rambut spike di kepalanya.


“Itu adalah Thomas Leaf Monkey” sambung Akim.

Tertawa saya mendengar namanya yang lucu, saya tak terlalu peduli dengan namanya, tapi sosok ini sungguh lucu. Tak lama Thomas-begitu saya menyebutnya, berpindah dengan cepat ke pohon lainnya.

Menemukan orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser tidak bisa dibilang mudah, karena Taman Nasional Gunung Leuser adalah habitat aslinya, bukan kawasan konservasi seperti di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan. Akim bercerita kadang ia membawa tamu sudah seharian trekking di Gunung Leuser tapi tak dapat menemukan orangutan. Tapi, pengunjung bisa melihat orangutan saat feeding time, 2 kali sehari.

Kami terus berjalan, menuruni dan menaiki bukit, belum satupun terlihat orangutan. Akim tidak patah semangat, ia terus melihat jejak-jejak orangutan dari dahan-dahan di pohon.

Sssttt…Akim menyuruh agar saya tidak terlalu berisik, seraya ia menunjuk ke atas pohon. Itu dia, yang selama ini saya tunggu-tunggu, ada seekor orangutan wanita dewasa di atas pohon, tak jauh dari pohonnya, ada lagi sesosok orangutan yang lebih kecil, itu adalah anaknya jelas Akim.

Kami lanjutkan perjalanan, tak jauh dari lokasi pertama, semakin banyak orangutan yang kami temui, ukurannya bermacam-macam. Yang paling menarik perhatian saya adalah seekor orangutan kecil, menurut Akim usianya baru 1 tahun. Ia menatap nanar melihat kehadiran kami, seolah mengisyaratkan ia ingin diberi makan.


Sebenarnya memberi makan orangutan dilarang bagi pengunjung, namun beberapa guide ada yang nakal dengan membiarkan pengunjung memberi makan orangutan.

“Takutnya jika diberi makan selain menu yang biasa mereka makan, akan sakit”, jelas Akim.

“Jika ranger taman nasional melihat, guide tersebut akan dimarahi pasti”, sambungnya.


Akim memang tidak membawa makanan untuk orangutan, ia peduli terhadap orangutan. Feeding station menjadi tempat terakhir yang saya kunjungi, saat itu masih kosong, belum ada satupun orangutan yang mendekat ke feeding station. Seorang ranger taman nasional membawa seember pisang lalu dilemparkan ke atas feeding station yang berbentuk alas kayu. Ranger tersebut lalu mengeluarkan suara-suara memanggil orangutan.
Ucok di feeding station
                                                             *****
Saya berjalan menuju tepian Sungai Bohorok, perjalanan menuju penginapan bukan lagi trekking, tapi river tubbing-begitu mereka menyebutnya. River tubbing menggunakan ban karet besar yang diikatkan dengan tali, bisa terdiri dari 3 – 4 ban menjadi seperti perahu pada rafting.


Akim duduk di ban paling depan memegan batang kayu berukuran panjang 2 meter, dan seorang teman Akim duduk di paling belakang memegang tas saya. Perlahan ban tersebut meninggalkan tepian sungai dan bergerak ke tengah sungai. Akim dengan sigap mengarahkan ban agar tidak menyangkut di batu kali, beberapa kali kami melewati riam sungai yang membuat suasana menjadi tegang. Namun, ini sungguh mengasikkan.

Untuk mencapai Bukit Lawang, dari kota Medan diperlukan waktu selama 3 – 4 jam, melewati perkebunan kelapa sawit milik PTPN dan London Sumatera. Kendaraan umum banyak melayani rute ini, cukup membayar Rp.15.000 dari terminal Pinang Baris hingga terminal Bukit Lawang.

Terminal Bukit Lawang

Dari terminal Bukit Lawang ke penginapan, bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1 KM, atau pilihan lain menggunakan bentor dengan membayar Rp.5.000. Ada banyak penginapan di Bukit Lawang, harganya bervariatif, mulai dari harga Rp.75.000/malam.  Untuk trekking di Bukit Lawang wajib didampingi oleh guide, harga yang ditawarkan memang agak mahal, biasanya mereka menawarkan harga sebesar Rp.300.000 - Rp.350.000 per orang. Namun, harga tersebut bisa dibicarakan, terlebih bagi pengunjung lokal.

Jika bingung untuk mencari hotel di Bukit Lawang, bisa memanfaatkan jasa Rajakamar, website online penjualan hotel murah di seluruh Indonesia. Harga yang ditawarkan murah dibandingkan website serupa, selain itu Raja Kamar sering mengadakan promosi, seperti promo hotel 88rb saja. Semoga Rajakamar nantinya bisa membuat program liburan gratis bagi para anggotanya.



Tuesday, June 11, 2013

Cerita Dari Meru Betiri

Taman Nasional Meru Betiri menjadi taman nasional terakhir dari 3 taman nasional di Provinsi Jawa Timur yang saya kunjungi. TN Meru Betiri terletak pada dua wilayah, yaitu Jember dan Banyuwangi, keduanya mempunyai keeksotisan tersendiri.

Akses menuju taman nasional memang tidak selalu mudah, begitu juga akses menuju TN Meru Betiri. Beberapa informasi yang saya dapatkan menyebutkan tidak ada kendaraan umum menuju lokasi TN Meru Betiri. Saya memilih untuk mengunjungi TN Meru Betiri pada wilayah Jember, dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih cepat dan akses yang lebih mudah.

Jika menggunakan mobil, disarankan untuk menggunakan mobil dengan ground clearance yang cukup tinggi dan bertenaga. Jika menggunakan motor, lebih baik menggunakan motor non-matic.

Gerbang utama Taman Nasional Meru Betiri wilayah Jember
Setelah menempuh perjalanan 1 jam menembus perkebunan karet, sampailah saya pada pintu gerbang bertuliskan Taman Nasional Meru Betiri. Akhirnya, saya bisa menjejakkan kaki juga di taman nasional ini.
Seorang petugas penjaga menyapa saya ramah, seraya mengutarakan maksud kedatangan saya siang itu. Ia berusia sekitar 50 tahun, dengan rambut yang sudah mulai memutih, dulunya Pak Cucuk ditugaskan pada Taman Nasional Alas Purwo sebelum dipindahkan kesini. Pantas ia belum terlalu hapal mengenai taman nasional ini.

Saya menyerahkan uang sebesar Rp.8.000 sebagai tiket masuk TN Nasional Meru Betiri untuk 2 orang, walaupun di lembar tiket hanya tertulis Rp.2.500. Ia memberi saya beberapa brosur mengenai TN Meru Betiri. Jika dilihat dari brosurnya, TN Meru Betiri menarik, ada banyak hal yang bisa dilakukan di taman nasional ini. Disebutkan di Pantai Bandealit sebagai daya tarik utama ada fasilitas kano, bodysurfing, menyusuri sungai menggunakan speedboat, dan juga green house anggrek yang koleksinya banyak menyimpan anggrek varietas langka.

Perjalanan hanya 14 km dari pintu gerbang utama, tapi ini akan sangat menantang karena medannya yang rusak parah. Hati-hati di jalan, karena jalan licin, cuma itu pesan Pak Cucuk.

Jalan yang rusak
Benar saja, baru beberapa ratus meter meninggalkan pintu masuk TN Meru Betiri, di depan saya jalanan menanjak dengan kontur yang rusak menyambut saya. Sejenak saya berhenti guna melihat rute utnuk melewati jalan tersebut. Sukses menempuh jalan tersebut, pada beberapa tempat saya kembali harus menjumpai keadaan serupa.

Kali ini batang pohon yang tidak terlalu besar menutupi jalan saya, dari letaknya batang pohon tersebut terlihat sengaja diletakkan, bukan pohon yang tumbang. Entah siapa yang melakukan itu, karena lokasi ini sepi sekali. Susah payah saya mendorong batang pohon tersebut agar menjauhi jalanan.

Perkampungan warga
Beberapa kilometer terakhir dari Pantai Bandealit, saya melihat ada perkampungan warga. Aneh juga melihat adanya perkampungan warga di dalam kawasan taman nasional. Rumah-rumah semi permanen berbahan kayu anyaman, sepi sekali, tidak terlihat adanya kegiatan dari penghuninya.

Gerbang masuk Pantai Bandealit

Perjalanan saya lanjutkan kembali, ada pos penjagaan menuju Pantai Bandealit, namun pos tersebut kosong. Pada sisi kiri saya ada beberapa petunjuk mengenai tempat di sekitar Pantai Bandealit.

Pantai Bandealit
Pantai Bandealit
Akhirnya, Pantai Bandealit berada di hadapan saya, terbayar lunas perjuangan menembus medan menuju pantai ini. Garis pantainya cukup panjang dengan ombak yang cukup deras, saya rasa ombaknya bisa digunakan untuk olahraga selancar. Saat perjalanan pulang saya menjumpai dua orang pemuda lokal yang menenteng papan selancar, ternyata mereka akan berselancar di Pantai Bandealit.

Muara sungai
Camping ground Pantai Bandealit

MCK?
Pada sisi sebelah kanan pantai, ada muara sungai yang biasa menjadi tempat mencari minum rusa-rusa yang ada di taman nasional ini. Siang itu, tidak ada satwa apapun yang mendekat ke pantai, sayang sekali.

Kawasan mangrove
Papan penunjuk bertuliskan menuju kawasan hutan mangrove membelokkan saya sekitar beberapa ratus meter. Ada dua buah bangunan pondok wisata yang kosong, kedua bangunan ini tidak terurus, mungkin karena tidak ada pengunjung yang memanfaatkan, jadi kondisinya dibiarkan terlantar.

Di belakang pondok wisata, terdapat rawa yang menjadi hutan mangrove. Tempat ini menarik sekali dengan latar pemandangan gunung kecil dan hutan mangrove. Fasilitas speedboat yang disebutkan pada brosur memang ada, namun melihat kondisinya saya tak yakin masih bisa digunakan dengan baik.

Bagi yang ingin mengunjungi TN Meru Betiri, perjalanan akan sangat panjang dan melelahkan. Jika berasal dari kota lain, bukan dari Jember. Bisa beristirahat semalam di kota Jember sambil menikmati wisata kulinernya. Ada 2 pilihan hotel murah di Jember dari Raja Kamar yang bisa dimanfaatkan, yaitu Hotel Royal dan Hotel Panorama. Konsisten dengan harganya yang murah, Raja Kamar juga sering mengadakan promo, seperti promo hotel seharga 88rb saja. Dengan harga hotel semurah itu, bisa dibilang kalian itu liburan gratis di hotel berbintang.asional Meru Betiri



Saturday, June 8, 2013

Pesona Ekowisata Tangkahan

Petunjuk jalan menuju Batang Serangan menunjukkan jika jalan ini memang menuju ke Tangkahan. Hamparan pohon sawit di kanan dan kiri jalan mulai terlihat, kondisi jalanan yang tadinya beraspal berganti dengan kerikil kecil. Mobil harus bermanuver dengan lincah guna menghindari lubang dan jalanan yang tidak rata.
Mobil harus menyebrangi sungai kecil karena ukuran jembatan yang tidak pas

Jembatan baru dan jembatan lama
Tak banyak terlihat kendaraan lain di perkebunan sawit ini, hanya ada beberapa motor yang dikendarai pekerja perkebunan dan juga truk-truk pengangkut sawit. Ada beberapa persimpangan yang tak diberi petunjuk arah, sehingga cukup membingungkan bagi yang pertama kali ke Tangkahan.

Tangkahan memang tidak sepopuler Pulau Samosir di Danau Toba, atau bahkan Bukit Lawang yang juga terletak dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.  Letaknya yang hanya 90 KM dari kota Medan tidak lantas menjadikan kawasan ini dikenal oleh masyarakat Medan. Beberapa orang Medan yang saya tanyai bahkan menggeleng dan mengaku baru pertama kali mendengar nama Tangkahan.

Selamat datang di Tangkahan
Dulunya Tangkahan memang terkenal sebagai pusat kegiatan illegal logging di Taman Nasional Gunung Leuser. Seiring dengan semakin menipisnya pohon di Tangkahan, masyarakat setempat sadar jika kegiatan illegal logging harus dihentikan. Lalu muncul ide untuk menjadikan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata.

Ekowisata Tangkahan identik dengan gajah, ada beberapa gajah yang bisa digunakan untuk melakukan jungle trekking, masuk ke dalam hutan hujan lebat Indonesia dengan menunggangi gajah. Aktivitas ini berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam dengan biaya per orang sebesar Rp.650.000. Cukup mahal memang biayanya, namun harga ini sebanding dengan pengalaman yang akan dirasakan.
Tangkahan visitor center
Saya berjalan memasuki Tangkahan Visitors Center lalu menuruni tangga dan menjumpai hamparan sungai bening cukup dangkal. Sungai ini mengalir di seluruh area Tangkahan, memberikan kehidupan bagi masyarakat Tangkahan. Rakit penumpang seharga Rp.4.000 per orang untuk rute pulang dan pergi menjadi transportasi penyebrangan sungai yang utama. Penginapan berada di seberang sungai, jadi rakit ini mengendalikan aktivitas di seberang visitor center.
Sungai yang membelah Tangkahan
Dua anak kecil lokal yang saya temui di atas rakit berbaik hati menuntun saya menuju lokasi air terjun terdekat. Untuk menuju lokasi ini perlu menyebrangi sungai, kala itu dangkal karena hujan belum turun. Air terjun ini pertama ini memang tidak terlalu istimewa, kami ditawarkan untuk mengunjungi lokasi air terjun lain yang lebih jauh, namun sayang hujan turun dengan cukup deras, sehingga saya harus menolak tawaran tersebut.


Pilihan aktivitas lain yaitu memandikan gajah, dengan biaya sebesar Rp.50.000 per orang, pengunjung didampingi oleh mahout (pawang gajah) memandikan gajah di sungai. Gajah-gajah ini mengerti dan menuruti perintah mahout, berkali-kali gajah ini menyembur saya dengan air yang tentunya diperintahkan oleh mahout. Usai memandikan gajah, saya diberikan beberapa buah oleh mahout untuk diberikan secara langsung kepada gajah. Menarik sekali.
Gajah dan mahout

Memandikan gajah

Menuju Tangkahan bisa dengan kendaraan umum, naik bis dari Terminal Pinang Baris, namun hanya ada 2 kali jadwal bis per hari dan masih perlu melanjutkan perjalanan dengan ojek selepas terminal terakhir. Paling nyaman dengan menyewa mobil seperti yang saya lakukan, biasanya harga sewa mobil di Medan Rp.350.000 untuk pemakaian 10-12 jam, harga tersebut sudah termasuk supir.

Bila ingin ke Tangkahan, disarankan untuk memulai perjalanan pagi hari atau siang hari. Jika sampai kota Medan terlalu malam,  bisa menginap dulu. Tak perlu bingung untuk mencari rekomendasi hotel di kota Medan, cukup buka saja Raja Kamar, segala informasi mengenai hotel murah yang dibutuhkan bisa didapatkan disitu. Raja Kamar juga sering mengadakan promo, daftar untuk mendapatkan newsletter Raja Kamar, kesempatan untuk mendapatkan harga hotel seharga 88rb. Tunggu saja promo selanjutnya dari Raja Kamar, bisa saja memberikan hadiah liburan gratis untuk kalian kan.





My TripAdvisor